Resensi Buku Prosa dari Praha

 RESENSI BUKU 

1. Identitas Buku

 Judul Buku : Prosa dari Praha 

 Pengarang : Nana Supriatna 

 Penerbit : PT. Remaja Rosdakarya 

 Tahun Terbit : 2018 

 Tebal Buku : 382 Halaman

 ISBN : 978-979-692-222-2 

2. Pendahuluan Sesuai dengan judulnya, Prosa dari Praha merupakan sebuah narasi historis yang ditulis oleh Nana Supriatna, dosen dan profesor Ilmu Pendidikan Sejarah UPI, yang mengajak kita untuk melakukan pendekatan mengenai sejarah sekaligus apa itu masyarakat konsumen dengan cara yang unik. Pemilihan Praha, yaitu ibukota Ceko, sebagai latar belakang tempat pun sangat menarik perhatian. Apalagi hubungan Indonesia-Ceko yang terkenal cukup erat. Penulis memberikan sebuah alternatif bacaan historis yang tidak monoton untuk dibaca dan dinikmati oleh khalayak umum. Buku ini tidak hanya berfokus pada bagaimana para konsumen berperilaku di era kapitalisme atau postmodernisme. Namun juga kita diberikan sebuah bumbu-bumbu kisah tentang Aku, Kamu, dan Dia yang mewakili sebagai konsumen di buku ini. Narasi historis sekaligus romantika di Praha mampu menyihir para pembacanya untuk ikut merasakan dan membayangkan tiap kalimat yang dijelaskan dalam buku ini. Buku Prosa dari Praha ini juga tentunya ingin menyampaikan banyak hal mengenai perilaku konsumtif atas komoditas dan bagaimana sebuah barang dapat menjadi semiotika. 

3. Isi Buku “Aku suka foto kamu. Aku mau terus difoto sama kamu.” Kalimat tersebut menjadi awal dari bagaimana Aku dan Kamu bertemu dan menjalin sebuah relasi di Old Town Praha. Old Town Praha memiliki banyak deretan bangunan bergaya arsitektur Gothic yang merupakan warisan zaman pertengahan dan Renaissance Eropa. Foto-foto serta selfie yang diabadikan oleh para turis atau wisatawan dijadikan komoditas yang sengaja dijual oleh ekonomi pariwisata Praha. Semua orang ingin mengabadikan momen- momen mereka dan tentunya dengan tujuan diposting lewat media sosial. Aku merasa jika hal tersebut justru menjadikan kita bahan konsumsi orang lain, dan kita membiarkan orang lain untuk menilai diri kita. Berbeda dengan Kamu yang merupakan perempuan kosmopolitan. Tentunya bagi Kamu, berfoto selfie merupakan bentuk dari aktualisasi diri. Namun tetap, Aku merasa jika memory yang mereka ambil hari ini tak perlu diketahui oleh publik. Jangan sampai foto-foto Aku dan Kamu dijadikan komoditas oleh kapitalisme. Walaupun kadang kapitalisme memiliki sisi positif yakni konsep inovasi dan kreatif, seperti contohnya Fujifilm yang menjadi penyuplai produk-produk kecantikan dengan nanoteknologi-nya. 

        Di bab kedua, Aku dan Kamu mengunjungi Kedutaan Besar RI di Praha. Kepulan asap rokok yang dihisap para anggota parlemen dijadikan sebagai simbol diplomasi. Aku pun teringat bagaimana Soekarno dan Agus Salim menggunakan rokok sebagai bagian diplomasi, juga sebuah sign atau tanda. Rokok Indonesia dijadikan oleh-oleh dari para diplomat ke luar negeri. Rokok Indonesia memiliki rasa khas tersendiri. Karena, rokok Indonesia memiliki campuran cengkih didalamnya. Merokok sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia. Berbagai media seperti TV, billboard, atau media online juga menjadi tempat pencitraan bahwa pria macho itu merokok. Padahal, realitanya tidak begitu. Para wanita dan pria pun akhirnya berpikir bahwa rokok erat kaitannya dengan sikap gagah dan macho. Kamu pun menjadi wakil untuk melakukan sambutan di podium. Kamu menjelaskan bahwa Indonesia harus memperluas ekspor rokok mereka ke Eropa. Rokok kretek selama ini lebih banyak dinikmati di dalam negeri saja. Dengan meningkatnya ekspor ke luar, para petani juga akan memiliki taraf hidup yang lebih baik. Karena, masih banyak petani cengkih dan tembakau yang tak mendapatkan keuntungan melimpah seperti para distributor. Bab ketiga menunjukkan dimana Aku membeli beberapa coklat, yakni Belgian Chocolate dan coklat lokal. Aku menawarkan coklat-coklat itu kepada Kamu, dan Kamu pun memilih Belgian Chocolate. Hal ini menunjukkan bahwa lewat coklat juga terjadi sebuah komunikasi secara tidak langsung. Dengan Kamu yang memilih Belgian Chocolate sudah mengomunikasikan posisi dan status sosial. Belgian Chocolate identik dengan wanita kosmopolitan atau wanita global. Konsumsi tidak semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan (need), tetapi juga keinginan (desire). Dalam ekonomi kapitalistik, Belgian Chocolate bisa menjadi sebuah komoditas yang menarik dan membuat kita berasosiasi dengan status sosial yang lebih tinggi. Sejarah biji coklat atau kakao sendiri awalnya diperkenalkan ke Indonesia oleh orang Spanyol dan Amerika Latin saat masa kolonial. Pada masa kolonial, para petani atau buruh kebun hanyalah alat produksi untuk menghasilkan komoditas yang dibutuhkan. Hal tersebut tidak jauh beda dengan sekarang. Indonesia hanya mengekspor barang mentah mereka ke luar untuk diolah, padahal Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga dunia. Namun, para petani kakao hanya menghasilkan bahan baku, bahkan mungkin mereka tak tahu bagaimana rasa coklat itu sendiri. 

        Bab keempat menunjukkan dimana Aku, Kamu, dan para rombongan pergi ke salah satu restoran Indonesia di Praha. Disana terkenal dengan bumbu yang kaya akan rempah-rempah. Rempah-rempah seperti lada, cengkih, pala, kayu manis, dan ketumbar sangat khas dengan eksotisme daerah asalnya Asia, terutama Indonesia. Keagungan rempah pada zaman dahulu sepertinya akan sulit dipahami oleh manusia zaman sekarang. Bahkan pernah suatu kali pada zaman dahulu, emas ditukarkan dengan lada. Lada seolah adalah emas hitam yang dapat menaikkan status sosial orang yang mengonsumsinya. Namun, nasib petani pada zaman kerajaan Hindu-Buddha dan Islam, tetaplah miskin meskipun rempah-rempah yang mereka hasilkan laku keras di pasaran. Mereka hanya mendapat sedikit keuntungan dan menikmati standar hidup yang rendah. Keuntungan hanya dinikmati oleh para perantara asing, penguasa pribumi, dan pejabat pelabuhan yang mengumpulkan bea pabean di pelabuhan, dan tentu saja para pedagang VOC. 

    Bab kelima menunjukkan dimana Kamu menyeduh satu bungkus green tea di pantry GHotel dan memberikannya kepada Aku. Konon, seorang petani bernama Shennong merupakan orang pertama yang menemukan teh. Awalnya teh hanya digunakan untuk ritual keagamaan atau dimakan sebagai sayuran juga pengobatan. Pada masa Dinasti Tang, teh menjadi sebuah minuman baru. Minum teh telah menjadi kebudayaan di China sebelum teh terdengar di Barat. Teh kemudian diperkenalkan ke Jepang oleh biksu Buddha Jepang yang melakukan perjalanan ke China. Kemudian, minum teh menjadi budaya penting di Jepang. Di Eropa, teh baru disebutsebut sekitar akhir abad ke-16. Teh kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tradisi sarapannya orang Inggris, atau english breakfast. Sejak dahulu perkebunan teh dan kopi terletak di Bandung, Jawa Barat. Para pemilik perkebunan teh di Priangan dengan julukan preanger planters meraup kekayaan yang luar biasa dari komoditas teh. Dekatnya hubungan para preanger planters dengan para pemetik teh yang kebanyakan perempuan kerap berakhir di tempat tidur. Relasi tersebut menghasilkan keturunan berdarah campuran Pribumi Eropa. Sebagian kaum perempuan yang menjadi butuh-buruh perkebunan menjadi nyai menerima kondisi ini karena faktor sosial ekonomi. Saat Tanam Paksa ditutup tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda menjadikan Jawa kawasan terbuka bagi investor asing di seluruh dunia. Rupanya negeri ini sudah lama berhubungan dengan kapitalisme modern. Para pengusaha Inggris memiliki teh sebagai komoditas perkebunan. Dari tanah Jawa, teh diekspor ke Inggris diolah di sana, dikemas lalu diberi merek dan tentu saja bukan dengan nama teh priangan melainkan english tea. 

        Bab keenam menunjukkan Aku dan Kamu berada di Charles Bridge. Dibawah jembatan itu terdapat Sungai Vltava. Aku pun memikirkan tentang sungai yang berada di desanya. Dulu sungai itu sangatlah jernih, bebatuan juga menghiasi seluruh aliran sungai. Namun, sekarang sungai di desanya kering saat musim kemarau dan suka marah saat musim hujan. Banjir yang dulu tidak ada sudah jadi cerita rutin di desaku. Pohon-pohon yang dulu rindang sudah habis ditebang. Batu-batu yang bulat dan lonjong itu sudah dikeruk dan pindah tempat. Bukan hanya itu, dulu orang-orang pergi ke pasar dengan jalan kaki, namun sekarang mereka memilih menggunakan motor. TV juga menjadi salah satu benda penghias ruang tamu dan keluarga. Orang desa mulai berubah menjadi orang kota. Para petani juga menggunakan pestisida untuk bisa panen dua kali dalam setahun. Walau begitu, hasil pertanian menjadi meningkat. Warga desa tidak lagi mengalami kelaparan. 

        Bab ketujuh menceritakan tentang kesetaraan gender di Indonesia. Sejak zaman Kerajaan Hindu-Buddha maupun Kerajaan Islam, perempuan sudah mendapat posisi penting sebagai pemimpin kerajaan. Namun, kedatangan kolonial Barat di Indonesia merusak kesetaraan itu. Laki-laki diberikan peran yang lebih besar dibandingkan perempuan. Perempuan dianggap lemah hingga akhirnya tidak dipilih untuk ambil bagian. Perempuan lokal malah dijadikan gundik untuk memenuhi kebutuhan biologis para pegawai. Sebagian perempuan Jawa terpaksa melakukan hal itu karena tak memiliki pilihan lain. Kolonialisme telah menempatkan perempuan sebagai sebuah objek. R.A Kartini merasakan ketidakadilan dalam relasi laki-laki dan perempuan di daerahnya. Menulis adalah satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk melawan ketidakadilan tersebut. Dominasi laki-laki terhadap perempuan juga menyebabkan adanya pembagian kerja secara seksual (divisions of labor). 

        Bab kedelapan menceritakan tentang bagaimana setiap langkah akan menentukan profit yang akan didapat. Dalam dunia kapitalistik, langkah kaki cepat tidak hanya menggambarkan etos kerja. Langkah kaki juga dikreasi sebagai komoditas untuk dijual dan mendatangkan profit. Kaki bisa menjadi penanda kedudukan sosial seseorang. Jika dilihat lebih jauh dalam fashion industries, tubuh perempuan termasuk kaki jenjangnya dijadikan sebuah komoditas. Para wanita juga seolah tergiur untuk mendapatkan bentuk tubuh yang sama dengan para model itu. Kapitalisme memanfaatkan rasa “ketidakpuasan” perempuan terhadap tubuh dan penampilannya untuk mengonsumsi hal-hal yang mereka pikir dapat membuat mereka memiliki “tubuh sempurna”. 

        Bab kesembilan menceritakan Aku dan Kamu yang memasang gembok kunci ditepian Sungai Vltava. Sembari menyusuri jalanan, mereka menemukan kios-kios yang menjual berbagai macam suvenir. Turis Indonesia adalah turis yang konsumtif. Pengeluaran wisatawan Indonesia paling banyak adalah untuk berbelanja. Gantungan kunci, magnet, lukisan ini hanyalah sign dan tidak real. Itu hanyalah signifier untuk melambangkan makna dibalik itu terutama saat diberikan kepada orang lain sebagai oleh-oleh. Dalam kultur Indonesia, itulah yang dinamakan pertukaran sosial (social exchange). 

        Bab kesepuluh menceritakan tentang orang-orang yang memiliki kecenderungan membeli barang yang sebenarnya hanya mereka inginkan, bukan mereka butuhkan. Di era ekonomi kapitalistik ini, apapun bisa dikomodifikasi. Konsumsi makanan yang merupakan sebuah kebutuhan semua manusia dikemas sedemikian rupa untuk bukan hanya memenuhi kebutuhan primer, melainkan juga aktualisasi. Barang-barang mahal juga sebenarnya hanyalah pemuas, simbol, atau tanda untuk mengangkat status sosial. Shopping Mall juga dibangun ditengahtengah kawasan perkebunan gandum. Korporasi global ingin menunjukkan bahwa di era global tidak ada lagi pemisahan antara desa dan kota. 

        Bab kesebelas menceritakan tentang tidak adilnya dunia kapitalistik untuk kaum perempuan. Walau kita sudah meninggalkan era tradisi yang menempatkan perempuan sebagai subordinate laki-laki, namun kesetaraan masih tak bisa diraih. Perempuan selalu dilihat dari fisiknya, bukan dari kecerdasannya. Fisik yang cantik dianggap bisa menjual dan mendatangkan profit. Kulit perempuan dikomodifikasi sedemikian rupa sehingga memiliki nilai jual. Nilai jual tidak selalu berkonotasi marketing melainkan juga dalam berkomunikasi. Di era ekonomi kapitalistik ini, kulit perempuan dianggap berlapis-lapis. Sejak kecil, perempuan juga selalu memimpikan tubuh seperti barbie. Dunia iklan sudah berhasil mengemas sebuah dunia fantasi. Kulit perempuan diwakili oleh boneka barbie itu dan dijadikan komoditas untuk dikonsumsi anakanak.

        Bab kedua belas menceritakan bagaimana produk-produk kecantikan serta perawatan tubuh dari luar negeri seperti Amerika begitu digilai para perempuan Indonesia. Orang Indonesia sudah lama berkenalan dengan perawatan seperti spa. Setidaknya, sudah ratusan tahun masyarakat Nusantara menggunakan ramuan alami untuk perawatan tubuh mereka. Industri kecantikan semakin berkembang pesat dan begitu pula strategi pemasarannya. Salah satu strateginya adalah memanfaatkan para beauty influencer. Di sisi lain karakteristik pelanggan produk kosmetik adalah pribadi yang cenderung loyal pada merek. Merek asing juga lebih dipilih oleh konsumen Indonesia dibandingkan merek lokal. 

        Bab ketiga belas menceritakan tentang bohemian style. Perlawanan terhadap budaya aristokrat para penguasa Bohemia yang kaku. Bohemia melahirkan karya kreatif dan inovatif dalam budaya. Bohemian Style memadukan berbagai etik berpakaian. Gaya ini terdiri atas pakaian-pakaian yang longgar dan berwarna-warni, dikenal dengan istilah boho chic, hippie, dan estetis. Gaya berpakaian adalah bagian dari representasi dan aktualisasi diri. Industri fashion menandai globalisasi ekonomi. Industri ini terkait langsung dengan gaya hidup dan citra diri atau self image. Namun, industri ini menyerap begitu banyak sumber daya alam seperti serat katun, serat sintetis, dan lain-lain. Perusahaan global harusnya ikut bertanggung jawab dengan degradasi lingkungan. 

        Bab keempat belas menceritakan tentang bagaimana greeting, grooming, dan gesturing dengan senyum merupakan standar dunia marketing. Senyum dikonstruksi menjadi barang untuk dijual. Yang jelas, semakin banyak senyum maka semakin mahal pula barang atau jasa yang dijual. Selain itu, konsep fast food yang lahir di negara industri khususnya Amerika Serikat adalah konsep efisiensi dalam sistem ekonomi kapitalistik. Layanan cepat saji dibutuhkan bagi kultur konsumen pekerja industri yang tidak lagi sarapan atau makan siang dirumah. Sistem delivery juga memungkinkan konsumen untuk membeli produk lainnya dengan diskon. Konsumen jadi pihak yang dieksploitasi/dikuasai/ditundukkan dan ditaklukkan produsen. 

        Bab kelima belas menceritakan Aku yang sedang berada di kedai kopi Starbucks. Nikmatnya secangkir kopi hangat ini mungkin tidak sebanding dengan penderitaan para petani kopi di Indonesia sejak zaman kolonial. Setelah budidaya berhasil, pemerintah kolonial Belanda menjadikan kopi sebagai tanaman wajib. Inilah yang menyebabkan para petani kehilangan waktu untuk menanam padi. Kopi di seluruh dunia menggambarkan kenikmatan, keindahan, kekuatan dan gaya hidup penikmatnya. Tapi di Jawa, petani jelas-jelas di eksploitasi baik tenaga maupun hasil buminya demi kepentingan pemerintah Belanda. Kopi sebagai gaya hidup dicitrakan terus melalui media masa. Aku pun terus membayangkan ingin minum kopi bersama Kamu. Namun pada akhirnya Aku justru kehilangan Kamu.

 4. Kelebihan Buku Kelebihan dalam buku ini adalah sang penulis memberi sentuhan novel dalam sebuah narasi historis sehingga menjadi bacaan yang tidak monoton dan membosankan. Penjelasan-penjelasan yang diberikan dalam buku ini pun tidak terlalu berat untuk dibaca dan dinikmati setiap orang. Kita juga diberikan sudut pandang yang berbeda dari tiap penjelasan yang ada. 

5. Kekurangan Buku Kekurangan dari buku ini sendiri adalah sering adanya pengulangan kata atau penjelasan yang membuat bingung pembaca. Ada juga beberapa kata yang sedikit sulit dimengerti oleh beberapa pembaca. 

6. Penutup Buku Prosa dari Praha ini merupakan salah satu buku narasi historis yang cukup menarik untuk dibaca. Gaya penulisannya yang unik dimana sebuah penjelasan-penjelasan sejarah diiringi dengan prosa yang tidak membosankan menjadi daya tarik dari buku ini. Pembaca juga mampu terbawa oleh setiap kalimat yang tertulis dari buku ini. Setiap isu yang dibawakan pun dapat kita mengerti sehingga kita dapat mengambil kesimpulan dari setiap informasi yang ada

Komentar